indonesia modern Headline Animator

Monday, January 26, 2009

MANUSIA INDONESIA ABAD MODERN (21) YANG
BERKAULITAS TINGGI

PENGANTAR

Kondisi sebelum abad 21 menampilkan komunikasi antar bangsa, negara, wilayah
yang tidak mudah dilakukan. Banyak keterbatasan yang dihadapi, sehingga peristiwa
yang terjadi di satu tempat tidaklah mudah diketahui oleh orang-orang yang tinggal di
tempat lain. Dunia menjadi terpisah-pisah dalam ruang dan waktu. Kejadian di Amerika
tidak akan mudah diketahui oleh mereka yang tinggal di belahan bumi lainnya seperti
Eropa, Asia, Afrika, dan Australia. Dengan demikian pikiran, pandangan, gaya hidup
masyarakat di wilayah tertentu bersifat lokal dan khusus, mengacu pada kebiasaan dan
budaya setempat. Kondisi tersebut memunculkan berbagai ragam tatanan masyarakat dan
gaya hidup.
Keterbatasan komunikasi juga mengisolir peristiwa yang berlangsung di wilayah
tertentu. Peristiwa di Banda Aceh, misalnya, akan lama sekali sampai pemberitaannya di
Merauke, Irian Jaya. Namun, berkat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
menjelang abad 21, jarak tampaknya tidak lagi menjadi masalah. Menit ini peristiwanya
terjadi, menit berikutnya seluruh dunia bisa mengetahuinya. Ditemukannya satelit
membuat komunikasi menjadi lebih mudah. Kemudahan komunikasi inilah yang
membawa penghuni dunia ke dalam kehidupan bersama, yang memungkinkan mereka
saling berinteraksi, mempengaruhi dan dipengaruhi, juga dalam memilih dan menentukan
pandangan serta gaya hidup.
Abad 21 ditandai dengan semakin membaurnya bangsa-bangsa warga masyarakat
dunia dalam satu tatanan kehidupan masyarakat luas yang beraneka ragam tetapi
sekaligus juga terbuka untuk semua warga. Gaya hidup yang menyangkut pilihan
pekerjaan, kesibukan, makanan, mode pakaian, dan kesenangan telah mengalami
perubahan, dengan kepastian mengalirnya pengaruh kota-kota besar terhadap kota-kota
kecil, bahkan sampai ke desa. Bentuk-bentuk tradisional bergeser, diganti dengan gaya
hidup global. Kesenangan bergaya hidup internasional mulai melanda. Perbincangan
mengenai pengembangan hubungan antar negara menjadi mirip pembahasan tentang
pengembangan komunikasi antar kota dan desa. Teknologi komunikasi memang
memungkinkan dilakukannya pengembangan hubungan dengan siapa saja, kapan saja, di
mana saja, dalam berbagai bentuk yakni suara dan gambar yang menyajikan informasi,
data, peristiwa dalam waktu sekejap. Secara psikologis kondisi tersebut akan membawa
manusia pada perubahan peta kognitif, pengembangan dan kemajemukan kebutuhan,
pergeseran prioritas dalam tata nilainya.


BAB I
KONDISI DAN SITUASI DI ABAD 21

Proses menuju abad 21 telah berlangsung sejak tahun tujuh puluhan. Dalam
percaturan internasional tak ada yang bisa menghindar atau mengelakkan diri dari proses
ini. Pengaruh yang datang tak lagi bisa dibendung, mengalir deras tanpa kenal batas.
Film, surat kabar, majalah, radio, televisi gencar menyuguhkan pemikiran, sikap dan
perilaku yang sebelumnya tidak dikenal. Gaya hidup baru yang diberi label 'modern'
diperkenalkan secara luas. Naisbitt dan Aburdene (1990) sebagaimana dikutip oleh Sri
Mulyani Martaniah (1991) mengatakan bahwa era globalisasi memungkinkan timbulnya
gaya hidup global. Tumbuhnya restoran dengan menu khusus dari mancanegara semakin
menjamur, menggeser selera masyarakat yang semula bertumpu pada resep-resep
tradisional. Gaya berpakaian dipengaruhi oleh garis-garis mode yang diciptakan oleh
perancang kelas dunia. Kosmetika, aksesori, dan pernak-pernik lainnya untuk melengkapi
penampilan tidak lepas dari pengaruh era globalisasi, seperti halnya tata busana. Selain
mode, dunia hiburan juga tersentuh. Munculnya kafe, kelab malam, rumah bola (bilyard)
memberi warna baru dalam kehidupan masyarakat. Demikian pula kegiatan pasar.
Bentuk-bentuk pasar tradisional yang memungkinkan terjadinya keakraban antara penjual
dan pembeli, sehingga keterlibatan emosional ikut mewarnai, perlahan menghilang dan
berganti dengan transaksi ekonomi semata ketika muncul pasar-pasar swalayan.
Seiring dengan perubahan jaman, masyarakat pun mengembangkan norma-norma,
pandangan dan kebiasaan baru dalam berperilaku. Era globalisasi yang mewarnai abad 21
telah memunculkan pandangan baru tentang arti bekerja. Ada yang lebih luas dari sekadar
makna mencari nafkah dan ukuran kecukupan dalam memenuhi kebutuhan keluarga.
Orang cenderung mengejar kesempatan untuk bisa memuaskan kebutuhan aktualisasi diri,
sekaligus tampil sebagai pemenang dalam persaingan untuk memperoleh yang terbaik,
tertinggi, terbanyak. Untuk bisa mengikuti gaya hidup yang baru, diperlukan dukungan
kemampuan ekonomi yang tinggi. Kebutuhan ini sangat terasa. Tawaran gaya hidup
modern yang ditawarkan melalui kaca-kaca ruang pamer toko atau distributor benda-
benda yang digandrungi masyarakat telah memacu banyak orang untuk bekerja tak kenal
waktu. Orang sibuk mencari uang untuk bisa memiliki gaya hidup seperti yang
ditawarkan. Apalagi media massa juga rajin menggelitik masyarakat untuk dapat
mengikutinya, antara lain melalui iklan, sinetron, acara-acara hiburan, dan sebagainya.
Kemajuan teknologi komunikasi abad ini telah memungkinkan berita dan cerita segera
menyebar ke seluruh pelosok, menyapa siapa saja, tak peduli penerima pesannya siap
atau tidak.
Wajah keluarga juga berubah. Perkembangan jaman yang merubah gaya hidup
masyarakat ikut mewarnai kehidupan keluarga. Peran suami istri, pola asuh dan
pendidikan anak tidak bisa mempertahankan pola lama sepenuhnya. Pengaruh yang
diterima suami istri, juga yang diterima anak dalam proses perkembangannya, tak lagi
bisa dipisahkan dari dunia di luar rumah. Melalui perangkat teknologi anak bisa langsung
menerima pengaruh dari luar, yang tentu saja akan selalu mempunyai dua sisi, baik dan
tidak baik, positif dan negatif. Situasi inilah yang akan mewarnai kehidupan anak dan
orang tua di abad 21. Orang tua tak lagi menjadi pewarna tunggal dalam pengembangan
pola sikap dan tingkah laku anak. Ada lingkungan yang lebih luas dan leluasa memasuki
kehidupan keluarga dalam menawarkan berbagai bentuk perilaku untuk diamati, dipilih,
dan diambil alih anak. 'Teman' dan 'pesaing' orang tua menjadi bertambah, sebab lingkungan memang tidak hanya terdiri dari dukungan atau penguat pesan-pesan dan nilai
yang ditanamkan orang tua, tetapi juga menjadi penghambat dan pengganggu penerimaan
pesan dan nilai tersebut.
Perkembangan kehidupan keluarga yang mewarnai abad 21 memunculkan
penampilan ibu yang berbeda dalam peran dan fungsinya selaku penyelenggara rumah
tangga dan pendidik anak. Seiring dengan pemunculan ibu dalam kegiatan di luar rumah
(bekerja, melakukan kegiatan sosial-budaya), kehadiran ibu yang tidak lagi 24 jam di
rumah menimbulkan pertanyaan tentang hasil yang bisa diharapkan dari pola asuhan dan
pendidikan dalam situasi seperti itu. Apa jadinya setelah ibu juga sibuk di luar, padahal
ibu dikenal selaku pendidik pertama dan utama? Bisakah anak tetap diharapkan mampu
berkembang optimal tanpa kehadiran ibu? Kalau ibu tidak ada, siapa yang layak ditunjuk
dan diserahi tanggung jawab sebagai pengganti? Pertanyaan ini menjadi terasa lebih
bermakna karena ayah tak juga menjadi surut dari kegiatannya di luar rumah, bahkan
cenderung meningkat seiring dengan tuntutan kehidupan abad 21. Nah, kalau ayah dan
ibu sama-sama tidak bisa hadir penuh, lalu siapa yang harus menjadi pengganti mereka
berdua? Padahal, kehadiran itu sangat diperlukan anak, tak peduli berapapun umurnya,
sebab proses pendidikan berlangsung selama masa perkembangannya, sejak kanak-kanak
sampai dewasa. Jadi, bukan hanya balita (anak berumur di bawah lima tahun) yang
memerlukan kehadiran bapak dan ibu, tetapi juga anak pada tahapan perkembangan
selanjutnya, yakni mereka yang berada dalam tahap perkembangan kanak-kanak, pra
remaja, remaja, dewasa muda, dewasa.
Mencari pengganti ibu tampaknya merupakan masalah yang akan mewarnai abad
21. Tidak mudah memperoleh pengasuh anak.. Hampir tak ada lagi pengasuh anak dalam
keluarga yang bisa membantu ibu dan berperan turun temurun, dari generasi ke generasi,
seperti yang pernah dialami pada era sebelumnya. Unsur kesetiaan dan pengabdian sudah
berubah menjadi transaksi ekonomi semata, sekadar menjual dan memakai jasa.
Sementara itu gagasan untuk mengatasi masalah ini dengan mendirikan Tempat Penitipan
Anak (TPA) masih memerlukan banyak pengkajian dan pertimbangan.
Masalah pendidikan anak yang mewarnai abad 21 perlu disikapi sungguh-
sungguh sejak sekarang. Bekal untuk anak agar bisa tumbuh dan berkembang sebagai
sosok pribadi yang sehat jasmani dan rohani, tangguh dan mandiri serta mampu
beradaptasi dalam era globalisasi ini menjadi semakin perlu diperhatikan kualitasnya.
Kondisi abad 21 yang memberi peluang besar bagi bangsa-bangsa di dunia untuk saling
berinteraksi, sekaligus membawa ke suasana kompetisi atau persaingan yang semakin
ketat dalam memperoleh kesempatan untuk mengisi kehidupan dan membuatnya menjadi
bermakna (bisa sekolah, bisa bekerja dan mencari nafkah, dan sebagainya). Persaingan ini
memerlukan ketangguhan dan keuletan dalam menghadapinya. Kebutuhan untuk
"menjadi seseorang" dan "menjadi bagian" yang jelas kedudukannya bisa menjadi
landasan untuk menumbuhkan motivasi pengembangan diri dan kemampuan beradaptasi.
Kebutuhan ini erat kaitannya dengan pembentukan rasa percaya diri dan menumbuhkan
motivasi untuk berusaha dan meraih kesempatan agar dapat senantiasa meningkatkan diri.
Sikap yang mandiri, tak gentar menghadapi rintangan, mampu berpikir kreatif dan
bertindak inovatif tapi juga peduli lingkungan adalah sosok yang diperlukan untuk
menjalani kehidupan dalam era globalisasi. Jelas bahwa pengembangan sikap dan
perilaku tersebut merupakan tuntutan yang lebih berat daripada hasil pendidikan yang
menjadi tanggung jawab generasi sebelumnya. Kemampuan mengantisipasi masa depan
dengan berbagai alternatif untuk mengatasi permasalahannya menjadi sangat penting untuk diperhatikan dalam proses pengasuhan dan pendidikan anak. Situasi ini tidak hanya
merupakan masalah keluarga, melainkan juga seluruh pendukung proses pendidikan
anak, yaitu masyarakat, bangsa dan negara.


BAB II
PERILAKU MANUSIA INDONESIA

1. Kehidupan masyarakat pasca proklamasi kemerdekaan RI 17 Agustus 1945
Kehidupan berbangsa dan bernegara mempengaruhi pembentukan pola perilaku
masyarakat, yang tercermin dari perilaku individu selaku anggota masyarakat. Sebagai
bangsa yang bangkit dari penjajahan (Belanda dan Jepang), di awal kemerdekaan
manusia Indonesia mengembangkan perilaku penuh gairah membangun bangsa dan
negara. Kebanggaan menyandang identitas sebagai bangsa dan negara yang merdeka dan
berdaulat penuh mendorong terjadinya interaksi yang saling mengisi antar berbagai suku
bangsa dalam semangat kesatuan dan persatuan, yang tercermin dalam lambang Bhinneka
Tunggal Ika, walaupun berbeda tetap satu jua. Ada kebutuhan untuk saling mengenal,
memahami dan menghayati agar kesatuan dan persatuan tidak hanya sekadar simbol,
melainkan merasuk dalam kehidupan sehari-hari.
Kebanggaan dan cita-cita mempertahankan kemerdekaan serta keinginan untuk
tampil sebagai bangsa yang dikenal dan dihormati dalam percaturan dunia telah
membawa masyarakat dalam pengembangan perilaku kebersamaan, yang cenderung tidak
mempertajam perbedaan latar belakang suku, pendidikan, agama, dan sebagainya.
Menjadi Manusia Indonesia adalah tujuan yang diharapkan dapat dibentuk bersama oleh
masyarakat "seribu pulau" ini. Ada kebutuhan yang ditumbuhkan untuk memotivasi
masyarakat agar bisa tampil sebagai "Orang Indonesia" sebagai identitas diri yang baru,
dengan tetap mempertahankan latar belakang warna suku bangsanya. Perpaduan berbagai
ragam budaya pun dicari dan diusahakan bersama. Dengan falsafah gotong royong,
semangat persatuan dan kesatuan, pembangunan bangsa dan negara mendapat dukungan
dari berbagai lapisan masyarakat.
2. Pembentukan perilaku manusia Indonesia dalam masa Orde Baru
Peristiwa di tahun 1965 (pembubaran Partai Komunis Indonesia) kemudian
memunculkan arah baru dalam pembentukan perilaku manusia Indonesia. Masa yang
dikenal sebagai Orde Baru mengarahkan pembangunan di bidang ekonomi sebagai fokus
utama. Masyarakat pun berpaling. Segenap lapisan berusaha mengikuti derap
pembangunan yang baru, sesuai dengan kemampuan dan harapannya. Sejalan dengan
perkembangan ini maka sikap dan gaya hidup masyarakat pun berubah. Manusia
Indonesia seolah dipaksa masuk ke dalam persaingan global yang berciri khas
kapitalisme. Para pengusaha siap menjelajah seluruh pelosok dan menelan siapa saja
untuk mencapai tujuannya demi laba yang ingin diraih. Arief Budiman (1991)
mengemukakan bahwa salah satu aspek ekspansi kapitalisme global adalah diciptakannya
manusia-manusia yang serakah dan materialistis, sesuai dengan yang dibutuhkan oleh
sistem kapitalisme. Produksi akan macet kalau manusia merasa sudah cukup dan tidak
mau berkonsumsi lagi. Akibatnya, melalui iklan dan berbagai bentuk promosi lainnya
manusia dibentuk menjadi berperilaku konsumeristis. Sikap serakah, materialistis, dan
konsumeristis inilah yang mendorong orang untuk bekerja sekeras-kerasnya, demi
memenuhi keinginannya yang tak kunjung terpuaskan. Kekayaan menjadi simbol status
dalam sistem kapitalis. Ukuran tidak lagi pada kualitas manusianya, melainkan pada
jumlah atau kuantitas harta yang dimiliikinya. Kejujuran tak lagi menjadi ukuran
keluhuran perilaku. Menurut istilah Arief, "orang yang jujur tapi miskin tampak bodoh
ketimbang orang yang kaya meski kurang jujur." Sisi lain dari pengembangan sistem kapitalis adalah ditimbulkannya semangat
individualistis, baik dalam berkonsumsi maupun berproduksi. Kolektivitas dan solidaritas
dianggap tidak rasional. Kemampuan berkompetisi untuk meraih yang terbanyak,
tertinggi, lalu berkonsumsi dalam jumlah banyak untuk meraih simbol status adalah
tuntutan untuk bisa masuk dan bertahan dalam kehidupan sistem kapitalis. Akhirnya,
kapitalisme bukan lagi sekadar sistem perekonomian belaka, tetapi sudah mencampuri
nilai-nilai kehidupan dan menentukan arah tujuan hidup. Suasana inilah yang mewarnai
periode pemerintahan Orde Baru. Upaya menciptakan manusia yang materalitis,
individualistis, memiliki daya saing tinggi agar bisa menjadi pemenang dan mengalahkan
pesaing-pesaing lainnya (siapapun dia) menjadi arah pembentukan perilaku oleh berbagai
pihak.
Ada pemenang ada pecundang (the winner and the looser). Mereka yang mampu
akhirnya memang 'berhasil' mengikuti gaya hidup global. Tapi, sebagian besar
masyarakat Indonesia belum memiliki dukungan untuk bisa mengikuti gaya hidup yang
baru. Keadaan ekonominya masih sangat jauh untuk bisa tampil dalam persaingan
tersebut. Akibatnya, banyak orang menempuh jalan pintas. Korupsi, kolusi , koncoisme,
nepotisme dilakukan orang dalam berbagai bentuk, yang sama buruknya dengan perilaku
menipu, mencuri, merampok, melacurkan diri. Cara ini ditempuh orang-orang yang tidak
memiliki kemampuan untuk bersaing tetapi sangat mendambakan kehidupan yang
diciptakan oleh sistem kapitalis. Berdasarkan kondisi kemampuan ekonomi sebagian
besar masyarakat Indonesia, Sri Mulyani Martaniah (1991) melihat banyak aspek dalam
era globalisasi yang dapat berdampak negatif dan bisa menyebabkan patologi sosial dan
memerlukan pengembangan psikologi komunitas sebagai salah satu cara mengatasinya.
Ada lagi kelompok lain, yaitu mereka yang tidak dapat melakukan cara-cara tersebut,
tetapi tetap terimbas oleh kehidupan sistem kapitalis. Akibat bagi kelompok ini adalah
perilaku yang menunjukkan perasaan tertekan (stress), depresi, bunuh diri, melarikan diri
ke pemakaian obat-obatan dan minuman keras. Sebagian lainnya dari kelompok ini
mengembangkan perilaku yang bersifat apatis. Mereka hanya menjadi penonton pasif dan
mencoba bertahan dengan apa yang dimilikinya dan bisa dilakukannya, entah sampai
kapan.
Manusia tak lepas dari lingkungannya. Kecenderungan mengikuti gaya hidup
yang baru, yang "trendy" dan menempatkan nilai-nilai baru dalam ukuran keberhasilan
telah merusak dan menghancurkan nilai-nilai tradisional yang sebelumnya dipegang
teguh dan diyakini sebagai kebenaran. Nilai yang mementingkan kebersamaan dan
menumbuhkan sikap gotong royong dilibas oleh nilai individualistis. Nilai yang
meletakkan unsur spiritual berganti dengan unsur materi. Sikap yang mementingkan
keselarasan dalam kehidupan bersama, sebagaimana yang telah mewarnai kehidupan
masyarakat Indonesia, diubah menjadi sikap yang selalu mau bersaing dan memenangkan
persaingan, tak peduli apapun caranya dan siapapun yang dihadapi.
Dalam periode ini semua pihak, mau tidak mau, suka atau tidak, seolah dipaksa
masuk ke dalam pembentukan perilaku persaingan global. Namun, di sisi lain, pada saat
yang bersamaan tidak ingin meninggalkan cita-cita bangsa, yaitu terwujudnya masyarakat
yang menjunjung tinggi kemanusiaan dan keadilan sosial. Benturan antara keyakinan
terhadap nilai-nilai tradisional dan kenyamanan serta keamanan, yang pernah diberikan
dalam cara kehidupan yang menjunjung tinggi kebersamaan, dengan kehidupan sistem
kapitalis melahirkan konflik-konflik pribadi yang cukup tajam pengaruhnya dalam proses
pembentukan perilaku.
Bayang-bayang kehidupan masyarakat dalam masa Orde Baru dengan berbagai
benturan kepentingan dan kebutuhan itulah yang kemudian memunculkan Era Reformasi,
yang ditandai oleh "lengsernya" Soeharto dari jabatannya selaku Presiden Republik
Indonesia setelah berkuasa selama 32 tahun. Wajah masyarakat muncul beraneka ragam.
Berbagai bentuk perilaku tampak mencerminkan kondisi dan situasi yang dimiliki
masing-masing, baik sebagai individu maupun kelompok, yang semula ditekan kuat-kuat
agar tidak muncul ke permukaan dan tidak menimbulkan konflik terutama bagi mereka
yang berbeda pendapat. Demonstrasi, pembentukan partai-partai baru, penjarahan,
perkosaan, doa bersama, tuding menuding, menghujat dan dihujat mewarnai kehidupan
masyarakat Indonesia saat ini. Negeri seribu pulau dengan nyanyian nyiur melambai yang
melambangkan kenyamanan dan kedamaian seolah terpuruk dalam tangis Pertiwi yang
meratapi nasib bangsa dan negara yang tampak 'carut marut' oleh berbagai kepentingan
dan kebutuhan. Kondisi dan situasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang
dirasakan dalam keadaan terpuruk itu menjadi bertambah sulit proyeksinya ke depan,
karena perilaku yang tampil di masyarakat tidak lagi mencerminkan kepedulian terhadap
hukum dan aturan kehidupan bersama yang menimbulkan ketenteraman dan kenyamanan.


BAB III
MAKNA HUKUM DALAM PEMBENTUKAN PERILAKU

Hukum dapat mengarahkan masyarakat ke arah pembaruan perilaku yang sesuai
dengan kebutuhan mereka untuk dapat menghadapi berbagai tantangan, sekarang dan di
masa yang akan datang. Ditinjau dari segi budaya hukum, yaitu bagaimana masyarakat
mempersepsikan hukum, maka secara umum hukum dipersepsikan sebagai:
a. suatu tatanan normatif dalam kehidupan bernegara
b. berfungsi mengatur kehidupan warganegara dengan memberikan batasan tentang apa
yang harus dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan
c. bertujuan untuk melindungi tiap warganegara dengan mengacu pada nilai-nilai dasar
seperti kemanusiaan dan keadilan
d. ditetapkan oleh otoritas yang legitimasinya diakui oleh seluruh warganegara.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dari sudut perilaku masyarakat, maka
hukum memiliki dua fungsi, yaitu:
a. memantapkan pola perilaku masyarakat yang sudah ada dan ingin dipertahankan
dan/atau
b. mengubah pola perilaku masyarakat yang ada saat ini ke arah perilaku baru yang
dicita-citakan.
Persepsi masyarakat terhadap hukum dan kenyataan yang dirasakannya dalam
menerima perlakuan hukum adalah unsur penting dalam pengembangan perilaku hukum.
Bila masyarakat sungguh mempersepsikan bahwa hukum melindungi kepentingan
mereka dan dalam pelaksanaannya dilakukan oleh otoritas yang diakui legitimasinya oleh
warga, maka proses pemantapan ataupun perubahan perilaku yang dilakukan melalui
pendekatan hukum akan dapat terlaksana secara teratur dan terencana.
Kepastian hukum dan jaminan pelaksanaannya merupakan landasan bagi
masyarakat dalam pengembangan perilaku normatif yang diperlukan bagi keamanan dan
kenyamanan kehidupan bersama. Kepercayaan masyarakat terhadap aparat penegak
hukum dan proses penegakan hukum merupakan unsur penting dalam mengembangkan
perilaku yang peduli hukum, yang tampil dalam bentuk perbuatan yang memahami
aturan, melaksanakan aturan, dan kesediaan menanggung konsekuensi akibat pelanggaran
hukum yang dilakukannya. Perasaan diperlakukan secara adil juga penting bagi
dipatuhinya aturan-aturan dalam kehidupan bermasyarakat sesuai hukum yang berlaku.
Sebaliknya, perlakuan hukum yang dirasakan berpihak akan mendorong timbulnya
perilaku yang cenderung mengingkari, yang bisa muncul dalam bentuk "menghindari"
atau bahkan melawan hukum (denda 'damai' atau suap).
Setiap anggota masyarakat diharapkan bisa secara mandiri memahami makna dan
tujuan ditegakkannya hukum, sehingga dalam pelaksanaannya tidak terlalu memerlukan
pengawasan. Dengan demikian jumlah aparat yang diperlukan untuk pengawasan dalam
pelaksanaan hukum bisa lebih efisien. Salah satu ciri kemandirian adalah kemampuan
memilih yang benar dari yang salah berdasarkan norma atau aturan yang berlaku di satu
tempat dalam kurun waktu tertentu. Kesiapan seseorang untuk bisa mandiri dalam
membedakan yang benar dan salah berdasarkan norma yang diyakininya dan
dijadikannya sebagai pegangan dalam berperilaku memerlukan proses yang bertahap.
Menurut Lawrence Kohlberg ada tiga tahapan pokok yang dilalui seseorang untuk
mampu bersikap adil dan mengembangkan sikap dan perbuatan berdasarkan
pertimbangan moral., yaitu: a. Moralitas Prakonvensional. Pada tahapan ini dasar yang menjadi pegangan dalam
bersikap dan bertingkah laku adalah pujian dan hukuman yang diberikan oleh
lingkungan. Tingkah laku yang diancam hukuman tidak akan dilakukan lagi.
Sebaliknya, perbuatan yang mendatangkan pujian atau hadiah akan cenderung
diulang.
b. Moralitas Konvensional. Pada tahapan ini perilaku sudah lebih disesuaikan dengan
norma yang dianut dalam lingkungan sosial tertentu. Sikap dan perilaku diarahkan
supaya bisa dikelompokkan sebagai perbuatan seorang anggota atau warga
masyarakat yang baik.
c. Moralitas Pascakonvensional. Pada tahapan ini prinsip-prinsip moral digunakan dalam
arti luas, tidak sekadar hitam putih dan tidak mengacu pada batasan-batasan sempit
yang berlaku hanya untuk kalangan masyarakat tertentu.
Perilaku masyarakat terbagi dalam tiga kelompok tersebut, yang dipengaruhi oleh
proses perkembangannya. Tingkat kematangan pribadi sangat menentukan moralitas yang
mendasari perilakunya.
Ada dua mekanisme belajar yang utama dalam membentuk perilaku manusia,
yaitu:
a. Cara belajar instrumental
b. Cara belajar observasional
Belajar instrumental pada dasarnya mengatakan bahwa suatu perilaku yang diikuti
oleh konsekuensi yang positif (reinforcement) akan diulangi, sedangkan perilaku yang
diikuti oleh konsekuensi negatif (punishment) tidak akan diulangi. Contoh: Bila dalam
pengalaman sehari-hari seseorang selalu mengalami bahwa "mengurus KTP dengan
mengikuti prosedur yang berlaku" (perbuatan menaati peraturan) membuat dia kehilangan
jam kerja berhari-hari, sedangkan dengan "mengurus KTP dengan memberi uang pelicin"
(perbuatan melanggar peraturan) petugas malahan mengantar KTP baru ke rumah, maka
menurut belajar instrumental, dia akan cenderung memberi uang pelicin setiap kali harus
mengurus KTP di masa yang akan datang, walaupun perbuatan itu melanggar hukum.
Menurut persepsinya, perbuatan itulah yang menghasilkan reinforcement sedangkan
menaati hukum justru menghasilkan punishment.
Tentu dalam hal ini keterkaitan (contingency) antara suatu perilaku dengan
konsekuensi yang menyertainya harus terjadi secara konsisten untuk suatu jangka waktu
tertentu sebelum pola perilaku yang diinginkan dapat terbentuk. Tanpa adanya
konsistensi ini maka perilaku yang diinginkan tidak akan dapat terbentuk. Misalnya bila
pada suatu waktu si Anu akan melewati lampu merah dilarang oleh polisi, sedangkan
ketika ia melakukan hal yang sama pada waktu lain polisi membiarkan saja hal tersebut
maka tidak akan terjadi proses pengkaitan antara "melewati lampu merah" dengan
"penilangan oleh polisi." Sebagai konsekuensinya tidak akan terbentuk perilaku "berhenti
setiap kali melihat lampu merah."
Belajar observasional mengatakan bahwa seseorang dapat mempelajari perilaku
baru atau memperkuat perilaku yang sudah dimilikinya hanya dengan mengamati orang
lain (model) melaksanakan perilaku tersebut. Besarnya pengaruh perilaku model terhadap
perilaku si pengamat tergantung pada tiga hal, yaitu:
a. penilaian pengamat tentang kemampuannya untuk dapat melaksanakan perilaku yang
ditunjukkan oleh model
b. persepsi pengamat tentang hasil perilaku yang ditunjukkan model, yaitu apakah
menghasilkan konsekuensi positif atau negatif c. perkiraan pengamat, apakah ia akan menghasilkan konsekuensi yang sama bila ia juga
melaksanakan perilaku yang ditunjukkan model.

Contoh: Si Dewi belum pernah mangkir dari pekerjaan karena hal tersebut melanggat
peraturan kerja yang ada. Namun si Polan mengamati bahwa atasan dan rekan kerjanya
yang sering mangkir tidak pernah ditegur atau dihukum, malahan dapat menikmati uang
dari hasil pekerjaan sampingan (reinforcement) yang dilakukan pada saat mangkir kerja.
Dalam situasi ini si Polan pun akan cenderung untuk ikut mangkir kerja dan melakukan
pekerjaan sampingan, sesuai dengan perilaku model yang diamatinya. Menurut Bandura
(1986) belajar observasional dari model ini telah terbukti sebagai sarana yang ampuh
untuk meneruskan nilai-nilai, sikap dan pola perilaku dalam masyarakat. Bila persepsi
masyarakat tentang peranan hukum dikaitkan dengan kedua mekanisme belajar tadi,
maka hukum sebenarnya merupakan suatu instruksi atau pemberitahuan dari otoritas yang
diakui kewenangannya mengenai:
a) perilaku yang diharapkan dari semua individu yang dikenai oleh hukum tersebut
b) konsekuensi yang akan dialami individu pelaku bila ia melaksanakan atau menolak
melaksanakan perilaku yang dimaksud.
Agar hukum ini dapat berfungsi secara efektif, ada dua syarat yang perlu
dipenuhi, yaitu:
a. hukum tersebut harus dimengerti oleh individu yang melaksanakannya dan oleh
individu yang akan dikenai oleh hukum tersebut
b. konsekuensi dari dipatuhi atau tidak dipatuhinya hukum tersebut harus dijalankan
secara konsisten dan berlaku umum tanpa pengecualian.
Arah pembangunan Indonesia dalam tiga dasa warsa terakhir ini, yang dikenal
sebagai era Orde Baru, pada hakekatnya adalah pembangunan yang sangat menekankan
pengembangan bidang ekonomi. Dalam konteks ini segala sesuatu diarahkan agar
pertumbuhan ekonomi dapat terus berlangsung tanpa mengalami gangguan. Untuk itu
harus selalu diupayakan terciptanya stabilitas ekonomi agar dapat menarik para investor.
Stabilitas ekonomi memerlukan dukungan stabilitas politik, yang kemudian oleh para
pejabat negara seringkali diinterpretasikan sebagai perlunya pendekatan keamanan
(security approach). Tanpa terasa, secara bertahap, semakin banyak kebijakan, keputusan
dan kebijaksanaan yang dibuat dengan dalih mempertahankan pertumbuhan ekonomi
nasional, padahal dalam kenyataannya tidak jarang hal tersebut hanya menguntungkan
pihak tertentu saja dan kadang-kadang bahkan merugikan rakyat kecil. Hal ini antara lain
terlihat dengan dikeluarkannya peraturan-peraturan yang bertentangan dengan hukum,
seperti pemberian hak monopoli untuk komoditi tertentu, keputusan-keputusan
pengadilan yang dirasakan kurang adil, misalnya penyelesaian kasus Kedung Ombo dan
hak tanah ulayat di Irian Jaya. Dalam bentuk lain, hal yang sama sering terlihat dalam
proses penegakan hukum ataupun proses pengadilan di mana status, kekuasaan atau uang
yang dimiliki pelanggar hukum ikut mempengaruhi jalannya persidangan maupun
keputusan yang diambil.
Berbagai hal yang kurang menguntungkan dalam pengembangan perilaku
masyarakat yang sadar hukum, sebagai bagian dari kehidupan berbangsa dan bernegara,
masih diperburuk lagi dengan adanya dua hal yang sangat berpengaruh dalam
pembentukan perilaku:
a. budaya feodalisme dan paternalistik yang membuka banyak peluang bagi yang
berkuasa di berbagai tingkat untuk membuat aturan sendiri atau melakukan interpretasi subyektif terhadap hukum dan perundang-undangan yang ada, sehingga
peraturan yang sama dapat diartikan berbeda oleh pejabat yang berbeda, di wilayah
yang berbeda atau dalam kurun waktu yang berbeda.
b. adanya kecenderungan budaya untuk menghindari konflik terbuka dan mencari jalan
kompromi yang menyebabkan orang sering lari ke prosedur penyelesaian konflik
alternatif di luar pengadilan, padahal bentuk penyelesaian alternatif ini sangat
dipengaruhi oleh kekuasaan atau status dari pihak-pihak yang ikut berperan dalam
proses tersebut.

Berbagai hal tadi dengan sendirinya menurunkan wibawa para penegak hukum
seperti hakim, pengacara, polisi, dan lain sebagainya serta menurunkan kepercayaan
masyarakat terhadap sistem peradilan dan sistem penegakan hukum itu sendiri.
Apa arti kenyataan itu dilihat dari pendekatan belajar dalam rangka pembentukan
perilaku menurut mekanisme belajar instrumental dan observasional?
a. Kenyataan bahwa seringkali ada peraturan-peraturan yang bertentangan atau tidak
konsisten satu dengan yang lain akan menimbulkan kebingungan, baik di tingkat
pelaksana maupun pada mereka yang dikenai oleh peraturan tersebut. Padahal untuk
dapat terjadi proses pembentukan perilaku sesuai dengan yang dianjurkan oleh
peraturan tertentu, syarat pertama yang harus terpenuhi adalah bahwa orang-orang
yang terlibat di dalamnya harus mengerti dengan jelas, apa yang dimaksud oleh
peraturan tersebut. Sebagai konsekuensinya, kondisi di mana terdapat kebingungan
jelaslah bukan situasi yang memungkinkan terjadinya pembentukan perilaku yang
sesuai peraturan.
b. Adanya penerapan hukum secara berbeda, tergantung pada status dan kekuasaan orang
yang ikut dalam proses penyelesaiannya maupun pada status dan kekuasaan individu
yang dikenai oleh hukum tersebut, menyebabkan konsekuensi dari hukum/peraturan
tersebut tidak dapat dilakukan secara konsisten tanpa pengecualian. Bila kondisi ini
tidak terpenuhi, maka pembentukan perilaku yang dituju oleh hukum tersebut tidak
akan terjadi.
c. Kenyataan bahwa orang yang memiliki kekuasaan seringkali mendapat perlakuan yang
menguntungkan (reinforcement) secara konsisten akan menjadikannya sebagai model
bagi para pemegang kekuasaan pada tingkat yang lebih rendah. Sebagai akibatnya,
semakin banyak para pemilik kekuasaan pada tingkat yang lebih rendah meneladani
pola perilaku para pemimpin yang lebih tinggi. Namun, sayangnya peneladanan ini
lebih jarang terjadi dalam hal menaati hukum tanpa pengecualian dan lebih sering
terjadi dalam hal memperoleh perlakuan yang berbeda dan menguntungkan, sesuai
dengan kedudukan atau kekuasaan mereka. Hal ini agaknya dapat menjelaskan semakin
meningkatnya praktek korupsi, kolusi, koncoisme dan nepotisme di kalangan penguasa
di berbagai tingkatan di negara kita.
Dengan perkataan lain, hukum tertulis yang berisikan instruksi atau
pemberitahuan mengenai perilaku yang diharapkan dan sanksi yang merupakan
konsekuensinya tidak efektif karena tidak dapat dilaksanakan secara konsisten dan
berlaku umum tanpa pengecualian. Di sisi lain, hal-hal yang ingin dicegah oleh hukum,
yaitu adanya perlakuan yang berbeda pada orang dengan status yang berbeda, justru
menjadi semakin tumbuh subur di antara para pemegang kekuasaan. Hal ini disebabkan
oleh karena mereka mengamati banyak sekali teladan dari penguasa yang lebih tinggi,
yang menunjukkan bahwa "tidak menaati hukum secara konsisten dan tanpa pengecualian" justru memberikan konsekuensi positif (reinforcement) pada mereka.
Dalam kondisi demikian kiranya akan sangat sulit untuk berharap bahwa pelaksanaan
hukum secara konsisten tanpa pengecualian akan dapat ditegakkan.
Namun, yang tidak kalah pentingnya untuk direnungkan adalah konsekuensi yang
mungkin terjadi bila keadaan seperti ini terus berlanjut. Dalam hal ini ada beberapa hal
yang mungkin terjadi:
a. Mereka yang merasa dirugikan akan berusaha untuk memperjuangkan perbaikan
melalui cara-cara yang dimungkinkan oleh hukum. Alternatif ini semakin mungkin
untuk dipilih bila situasi dan kondisi memungkinkan dan cukup banyak anggota
masyarakat yang memiliki pengetahuan dan mau bertindak asertif untuk
mengupayakan perubahan (memiliki self-efficacy tinggi).
b. Bila situasi dan kondisi tidak memungkinkan alternatif di atas atau alternatif tersebut
sudah diusahakan tetapi tidak membuahkan hasil maka akan muncul perasaan
frustrasi. Dengan adanya stimulus tertentu sebagai pemicu, frustrasi ini dapat dengan
mudah menjelma menjadi perilaku agresif. Pengamatan terhadap pengalaman di masa
lalu menunjukkan bahwa dalam pola budaya yang berorientasi kekuasaan, orang-
orang yang berstatus rendah lazimnya mencari perlindungan dalam kolektivitas (Lev,
1991). Bandura (1986) menemukan hal yang kurang lebih sama, yaitu bila cukup
banyak orang yang memiliki self-efficacy tinggi, maka mereka cenderung untuk
melakukan protes dan usaha kolektif untuk mengubah keadaan.
c. Bila perasaan frustrasi yang diakibatkan oleh tidak adanya kemungkinan untuk
melakukan tindakan perbaikan berlangsung dalam waktu yang relatif lama atau bila
berbagai upaya yang telah dilakukan berkali-kali tidak memberikan hasil nyata, maka
sebagian besar kemungkinan mereka yang terlibat akan mengalami apa yang disebut
sebagai "learned helplessness". Artinya, proses panjang dari berbagai upaya yang
telah dilakukan namun tidak membuahkan perubahan yang diinginkan menyebabkan
orang-orang ini belajar menjadi tidak berdaya dan tidak mau lagi berusaha, karena
mereka tidak lagi percaya akan adanya hubungan antara usaha mereka dengan hasil
yang ingin dicapai (bersikap apatis). Bila hal ini terjadi pada cukup banyak anggota
masyarakat kita, khususnya orang muda, kiranya akan sulit bagi bangsa kita untuk
dapat bersaing secara global di abad 21 dan menjadi bangsa yang percaya akan
kemampuan diri sendiri.
Kondisi dan situasi negara dewasa ini, yang sedang dilanda berbagai kesulitan
dalam kehidupan akibat krisis moneter berkepanjangan, serta terbongkarnya praktek-
praktek pelanggaran hukum justru oleh mereka yang seharusnya dijadikan panutan
masyarakat, baik sebagai penentu kebijakan maupun selaku aparat penegak, berdampak
luas terhadap kondisi kepercayaan masyarakat kepada pemerintah. Krisis kepercayaan ini
kemudian melahirkan sikap yang cenderung mengabaikan hukum. Perilaku masyarakat
yang akhir-akhir ini menunjukkan kecenderungan melanggar hukum dalam memenuhi
kebutuhannya dan 'main hakim sendiri' dalam menyelesaikan masalahnya, harus
ditanggapi secara sungguh-sungguh dan tidak bisa dibiarkan berlarut-larut, apalagi
sampai dijadikan pola perilaku menetap karena 'dilegalisir' secara tak langsung oleh
pejabat negara. Tanpa disadari pernyataan pejabat negara yang dimaksudkan sebagai
simpati terhadap kesulitan hidup yang dialami warga masyarakat (atau justru menarik
simpati masyarakat?) telah menimbulkan persepsi yang mengesankan 'disahkannya'
perilaku hukum yang menyimpang. Contoh: pengungkapan dan penyelesaian masalah perbankan, tanah, operasi becak di Jakarta, kasus orang hilang, penjarahan, dan
sebagainya.
Peristiwa huru hara di Jakarta dan kota-kota lainnya pada tanggal 13 dan 14 Mei
1998 dan hari-hari berikutnya semakin membawa negeri ini dalam keadaan terpuruk
dengan krisis kepercayaan yang sangat berat. Situasi yang tak kunjung stabil, sementara
masyarakat menantikan kepastian dalam penegakan hukum, akhirnya menumbuhkan
sikap apatis dan putus asa dengan segala konsekuensinya. Kondisi ini mengantar
pemerintah pada beban yang amat berat, terutama dalam hal pemulihan kepercayaan
masyarakat kepada pemerintah. Diperlukan sikap yang mampu menampung aspirasi
ketiga kelompok masyarakat dalam pengembangan moral (prakonvensional,
konvensional, pascakonvensional) agar kehidupan bersama bisa ditata kembali.
Komunikasi yang digunakan, baik bentuk maupun jalurnya, harus sangat
memperhitungkan karakter kelompok masyarakat secara cermat, sehingga tidak terjadi
salah tafsir atau keliru interpretasi. Dalam kaitan ini pernyataan pejabat, penjelasan
pemerintah, penetapan kebijakan harus mengacu pada kepentingan segala lapisan
masyarakat, dengan memperhatikan karakteristik masing-masing, sehingga dapat
dipahami dengan baik.
Bagaimana mengubah pola perilaku masyarakat melalui hukum? Seperti telah
diuraikan terdahulu, salah satu fungsi hukum adalah untuk mengubah perilaku
masyarakat ke arah yang diinginkan. Bila dikaitkan dengan prinsip-prinsip perubahan
perilaku berarti diperlukan hukum yang berisikan batasan perilaku yang diinginkan dan
uraian yang jelas tentang konsekuensi yang akan diterima bila hukum tersebut ditaati atau
dilanggar. Namun, agar sistem hukum yang baru dapat berfungsi secara efektif
diperlukan persyaratan berikut:
a. Sistem hukum tersebut harus dimengerti oleh mereka yang akan melaksanakannya
maupun oleh mereka yang akan dikenai oleh hukum tersebut. Hal ini berarti perlu
dilakukan peningkatan keahlian (memiliki expert power) dari para penegak hukum
sehingga keputusan-keputusan mereka dihargai dan dihormati oleh semua pihak. Di
samping itu perlu pula dilakukan pendidikan/penyuluhan hukum bagi seluruh anggota
masyarakat sehingga mereka mengetahui apa yang merupakan hak mereka dan apa
yang merupakan tanggung jawab mereka.
b. Sistem hukum tersebut harus dilaksanakan secara konsisten dan mengikat semua warga
tanpa pengecualian termasuk si pembuat hukum sendiri (Golding, 1975).
Keberhasilannya terutama akan sangat ditentukan oleh keteladanan (memiliki referent
power) dan political will dari para pemegang kekuasaan serta komitmen dari semua
pihak.
c. Sistem hukum tersebut didukung oleh sistem dan budaya demokratis di mana
masyarakat dan pers dapat menjalankan fungsi kontrol.
Bagaimana proyeksi kita ke depan? Pengalaman selama enam Pelita menunjukkan
bahwa pembangunan yang hanya menekankan pertumbuhan ekonomi tanpa disertai
dengan pertumbuhan yang seimbang di bidang sosial, politik dan hukum ternyata tidak
berhasil meningkatkan daya saing kita di dunia internasional. Berarti kita memerlukan
suatu pembaharuan yang menyeluruh sifatnya dan mencakup berbagai aspek kehidupan
bangsa. Beberapa hal yang dapat disebutkan antara lain adalah:
a. Upaya mencerdaskan kehidupan bangsa agar dapat menjadi bangsa yang percaya diri
dan sekaligus mampu berkiprah di dunia internasional. Untuk mencapainya diperlukan
suatu transformasi sosio-kultural dari budaya feodal, paternalistik dan berorientasi kekuasaan menuju budaya yang lebih bersifat demokratis, partisipatif dan berorientasi
ke depan.
b. Untuk dapat berkiprah di dunia internasional kita perlu memperoleh kepercayaan dari
dunia internasional. Untuk itu kita perlu memiliki hukum yang mengacu pada nilai-
nilai universal seperti penghargaan terhadap Hak Asasi Manusia, demokrasi, dan lain
sebagainya. Selain itu, salah satu hal pokok yang dapat membina kepercayaan dunia
internasional ialah adanya sistem hukum yang berwibawa dan berlandaskan asas-asas
hukum modern dengan dukungan sistem peradilan yang dapat diandalkan.
Dalam kaitan ini perlu dipahami bahwa betapapun bagusnya rencana, sistem,
maupun kelembagaan yang diciptakan, kemungkinan berhasilnya akan sangat kecil bila
tidak didukung oleh perubahan yang mendasar dalam pola pikir, sikap dan perilaku pada
tingkat individu sebagai anggota masyarakat.
Ada dua alternatif keadaan masyarakat Indonesia berdasarkan analisis tersebut,
yakni:
a. menjadi bangsa yang mengalami "learned helplessness", apatis, tidak percaya diri dan
tidak mampu bersaing di tatanan global atau
b. menjadi bangsa yang memiliki self-efficacy, percaya diri dan mampu bersaing di
tatanan global.
Indonesia, sebagai bangsa dan negara, juga secara individual, memiliki dua
pilihan tersebut. Namun, bila dilihat dari sudut belajar observasional di mana unsur
keteladanan (referent power) memegang peranan penting dalam mengubah pola perilaku,
maka sikap pemimpin bangsa dan negara ini menjadi sangat bermakna. Semakin tinggi
status seseorang dan semakin besar kekuasaan/pengaruhnya, maka semakin menentukan
pula pilihannya bagi masa depan bangsa.

BAB IV
PERANAN KELUARGA DALAM PEMBENTUKAN PERILAKU DAN
PROYEKSI DI ABAD 21

Suasana pembangunan yang lebih terfokus di bidang ekonomi ditingkah dengan
era globalisasi telah mengubah tatanan kehidupan masyarakat. Tawaran untuk menikmati
gaya hidup global telah mendorong semua orang untuk sibuk mencari uang, dengan
berbagai cara. Setiap orang, laki-laki dan perempuan, berusaha pagi dan petang. Mereka
membanting tulang dan memeras keringat untuk meraih yang terbaik demi gaya hidup
global. Tentu saja kondisi ini berpengaruh terhadap kehidupan kekeluargaan, yang
menjadi kurang terbina. Mulailah terjadi kerenggangan antara suami istri, orang tua dan
anak, yang tentunya sukar untuk diharapkan sebagai tempat persemaian tumbuh kembang
anak secara optimal. Era globalisasi juga melahirkan kompetisi yang membutuhkan
kompetensi tinggi di segala bidang untuk bisa menjadi pemenang.
Hanya yang terbaik yang bisa memenangkan kompetisi. Akibatnya, orang tua
memaksa anak meninggalkan dunianya dan mengisinya dengan upaya pembekalan diri
untuk dapat meraih kompetensi sebanyak-banyaknya. Dunia kanak-kanak yang ceria tak
lagi bisa dinikmati, berganti dengan jadwal ketat yang mengantarnya pada situasi yang
selalu serius dan memandang jauh ke depan. 'Paksaan' yang melanda anak dalam
penafsiran era globalisasi di bidang ekonomi ini tentunya bisa berdampak negatif
terhadap perkembangan anak di kemudian hari, baik terhadap kehidupan pribadinya
maupun dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Newman & Newman (1981) menyebutkan tiga unsur pendukung kemampuan
seseorang untuk bisa menyesuaikan diri dengan baik, yaitu dirinya sendiri, lingkungan
dan situasi krisis dalam pengalaman hidupnya yang sangat membekas dalam dirinya.
Pada unsur pribadi (diri sendiri) tercakup kemampuan untuk bisa merasa, berpikir,
memberikan alasan, kemauan belajar, identifikasi, kesediaan menerima kenyataan, dan
kemampuan memberikan respon sosial. Kemampuan tersebut didasari oleh tingkat
kecerdasan yang dimiliki, temperamen, bakat, dan aspek genetika. Berdasarkan konsep
tersebut maka proses penyesuaian diri bagi anggota masyarakat merupakan keterkaitan
yang sangat erat antara kondisi pribadi, situasi lingkungan dan kemampuan mengelola
pengalaman.
Pembentukan perilaku normatif dimulai dari pengenalan terhadap aturan yang
berlaku dan terapannya dalam kehidupan sehari-hari, yang kemudian menjadi
pengalaman yang terekam dalam kehidupan seseorang. Selanjutnya, dengan bekal
kemampuan yang dimilikinya, terjadi proses pengambilalihan norma di luar diri menjadi
pengembangan nilai-nilai yang dijadikan pegangan dalam berperilaku (internalisasi).
Tergantung dari tingkat kematangan pribadinya, pengembangan nilai dalam diri sendiri
bisa dilakukan secara mandiri, bahkan bernuansa luas, dan mampu dipertahankan secara
tangguh dalam berbagai kondisi dan situasi. Pada tingkat seperti ini orang tersebut tidak
akan mudah terpengaruh atau terbawa suasana lingkungan. Dia tahu memilih yang benar,
yang perlu, yang bermanfaat dan bisa dengan mudah membedakannya dari hal-hal yang
bisa merugikan pribadi maupun lingkungannya. Pengalamannya berpadu dengan
penalaran pikirnya, menghasilkan dialog yang terus menerus sebelum memutuskan sikap
dan perilaku dengan kesadaran terhadap konsekuensinya, baik untuk diri sendiri maupun
lingkungan. Sikap dan perilaku orang tua sebagai anggota masyarakat yang menampilkan gaya
hidup dan etos kerja serta pengembangan interaksi dengan lingkungan akan direkam
anak, baik untuk kepentingan belajar instrumental maupun belajar observasional. Perilaku
masyarakat menuju abad 21 tidak lagi mencerminkan setia kawan, gotong royong seperti
yang tampak di era sebelumnya. Perilaku itu cenderung meluntur, terutama di kota-kota
besar. Tingkah laku manusia di kota besar lebih mengarah pada kesibukan pribadi, tidak
acuh, tidak peduli terhadap mereka yang kurang beruntung (individualis). "Pokoknya
saya senang, saya berhasil, saya bisa meraih semuanya. Apa yang terjadi dengan orang
lain, bukan urusan saya," kata si individualis, yang juga masuk ke dalam rekaman anak
dan bukan tak mungkin dijadikannya pola bertingkah laku.
Ketidakpastian dalam penegakan hukum berdampak pula pada perilaku yang
ditampilkan orang tua dan anggota masyarakat lainnya dalam bekerja dan berorganisasi,
yang selanjutnya bisa dijadikan acuan oleh anak dalam mengembangkan dirinya.
Tindakan yang lebih suka memilih jalan pintas untuk mencapai tujuan, tidak tepat waktu,
unjuk kerja seadanya, lebih menuntut fasilitas daripada tanggung jawab adalah
melunturnya etos kerja yang diamati anak dengan leluasa, di dalam maupun di luar rumah
(orang tuanya sendiri maupun orang tua lainnya). Sikap mau menang sendiri, tidak
adanya kepatuhan terhadap hukum, pelanggaran terhadap tata tertib yang berlaku adalah
ketidakdisiplinan pribadi yang bisa ditangkap anak dari orang tua dan lingkungannya.
Tindak kejahatan dengan kekerasan, baik yang berupa pengrusakan, perampokan,
penyiksaan, perkosaan juga pertikaian yang diakhiri dengan pembunuhan, walaupun
penyebabnya mungkin sepele, adalah agresivitas yang masuk dalam benak anak dan bisa
menjadi referensi dalam menjalani kehidupannya. Kesenangan berlebihan terhadap
barang-barang simbol teknologi canggih dan kemapanan serta kenyamanan hidup sebagai
kecenderungan hidup materialistik bisa dijadikan dasar pola pembentukan perilakunya.
Penggunaan berlebih terhadap produk teknologi canggih tanpa memperhatikan kondisi
lingkungan yang bisa dikatakan sebagai kecenderungan pendewaan teknologi adalah
referensi lain yang sewaktu-waktu siap ditampilkan anak. Meningkatnya frekuensi dan
intensitas perkelahian antar kelompok remaja dan dewasa muda adalah situasi lain yang
diamati anak. Mereka melihat mengurangnya kemampuan menalar, komunikasi dan
penyelesaian masalah melalui dialog di antara pelaku-pelakunya. Dalam hal ini pengaruh
media massa terasa sangat bermakna.
Kesibukan kota besar yang segera merambah pelosok lainnya dengan gerak hidup
cepat, bertubinya rangsangan kegiatan dan mobilitas pribadi yang tinggi menempatkan
individu dalam situasi yang dilematis. Situasi tersebut membuat individu harus memilih
antara pencarian kegiatan yang didasari oleh minat pribadi dengan pelestarian ikatan dan
fungsi utama keluarga sebagai sarana dalam menyiapkan anggotanya untuk hidup
bermasyarakat. Kecenderungan ini oleh para ahli dianggap sebagai melunturnya fungsi
utama keluarga. Fokus perhatian yang lebih mengarah pada tugas-tugas di luar rumah
agar tak kalah bersaing kemudian menjadi pilihan orang tua dan sekaligus menempatkan
anak dalam kekosongan yang cukup bermakna, terutama dalam upaya pembentukan hati
nurani yang akan menjadi pemandunya kelak, sebagai orang yang tangguh, mandiri, tapi
juga peduli lingkungan dengan warna spiritual yang kental dan luwes. Apakah orang tua
dan masyarakat menyadari kepentingan ini, juga bahwa masa depan bangsa dan negara
ada di tangan anak-anak yang sekarang menjadi penonton dan pengamat perilaku orang
tua, baik yang ada di rumahnya maupun di masyarakat, apapun peran dan fungsinya? Seberapa jauh kita menyiapkan anak-anak agar bisa berkualitas tinggi dalam abad 21
nanti?
Pendidikan adalah upaya membekali anak dengan ilmu dan iman agar ia mampu
menghadapi dan menjalani kehidupannya dengan baik, serta mampu mengatasi
permasalahannya secara mandiri. Bekal itu diperlukan karena orang tua tidak mungkin
mendampingi anak terus menerus, melindungi dan membantunya dari berbagai keadaan
dan kesulitan yang dihadapinya. Anak tidak akan selamanya menjadi anak. Dia akan
berkembang menjadi manusia dewasa. Kalau perkembangan fisiknya secara umum
berjalan sesuai dengan pertambahan umurnya, maka kemampuan kecerdasan dan
perkembangan emosi serta proses adaptasi atau penyesuaian diri dan ketakwaannya
sangat memerlukan asuhan dan pendidikan untuk bisa berkembang optimal. Melalui
bekal pendidikan dan proses perkembangan yang dialaminya selama mendapatkan asuhan
dari lingkungannya, diharapkan anak akan mampu menyongsong dan menjalani masa
depannya dengan baik.
Memberi bekal adalah sikap yang mencerminkan pemikiran dan pandangan ke
depan. Artinya, kondisi atau keadaan dan situasi yang akan dihadapi anak nantinya,
ketika ia sudah menjadi orang dewasa, sangat perlu diperhitungkan. Kehidupan berjalan
ke depan. Jadi, sangatlah penting mempertimbangkan kondisi dan situasi di masa depan
itu dalam upaya memberikan bekal kepada anak. Sosok manusia dewasa hasil asuhan dan
pendidikan orang tua dalam kurun waktu sekarang akan terlihat secara jelas dalam
perkembangan anak menjadi orang dewasa. Berhasilkah pendidikan dan asuhan yang
telah diberikan? Tercapaikah harapan dan cita-cita atau impian orang tua? Bahagiakah
anak dengan yang diperoleh dan dimilikinya? Mampukah ia menjadi sosok pribadi yang
diangankannya sendiri, yang mungkin sama dengan harapan orang tua dan lingkungan
pendidiknya yang lain? Semua jawaban itu baru akan tampak nanti, ketika anak sudah
menjadi dewasa.
Latar belakang pengertian tersebut hendaknya menjadi dasar pengembangan pola
asuhan dan pendidikan untuk anak. Biasanya pendidikan diberikan berdasarkan
pengalaman masa lalu, yakni ketika yang menjadi orang tua masih berstatus kanak-kanak,
yang menerima pendidikan dari orang tuanya. Pengalaman masa lalu ini kerap kali cukup
mewarnai pola asuhan dan pendidikan anak. Pemanfaatan pengalaman memang selalu
ada gunanya. Akan tetapi sikap yang mampu mengantisipasi ke depan juga sangat
penting, karena anak tidak akan hidup di masa lalu, tetapi menapak ke masa depan.
Dengan demikian posisi pengalaman ketika menerima didikan dan asuhan orang tua di
masa lalu hanyalah pantas sebagai acuan atau referensi, terutama dalam rangka
mengembangkan empati (penghayatan, kemampuan merabarasakan dari sudut pandang
atau posisi orang lain) agar komunikasinya bisa berjalan seperti yang diharapkan.
Terapan pengalaman masa lalu ayah ibu, ketika dididik dan diasuh orang tuanya, perlu
disesuaikan dengan kondisi dan situasi perkembangan jaman. Tanpa penyesuaian, pola
asuh dan pendidikan yang dilakukan akan cenderung menyulitkan anak dalam
perkembangannya, sehingga iapun akan tumbuh menjadi sosok pribadi yang sukar
menemukan konsep diri, sulit menyesuaikan diri dan tentunya sulit mengaktualisasikan
diri.
Proses pendidikan berlangsung dinamis, sesuai dengan kondisi perkembangan
pribadi anak dan situasi lingkungan. Era globalisasi yang menandai abad 21 seyogianya
tidak hanya dilihat sebagai hal yang mengancam, dengan dampak kecemasan atau
kekhawatiran dalam mendidik anak, yang mungkin hanya akan menghasilkan kondisi perkembangan yang kurang menguntungkan. Kecemasan dan kekhawatiran biasanya
akan menyebabkan orang tua menjadi tegang dan tertekan sehingga kurang mampu
melihat alternatif, lalu justru menekan anak padahal tindakan itu lebih ditujukan untuk
dapat menenteramkan dirinya sendiri.
Kondisi jaman dalam era globalisasi justru bisa dimanfaatkan untuk membangun
sosok-sosok pribadi yang tangguh dan mandiri, antara lain karena terbiasa menghadapi
persaingan yang ketat dan mampu memanfaatkan fasilitas dan peluang yang dibukakan
oleh "pintu globalisasi." Untuk itu orang tua sangat perlu menyadari, bahwa kehidupan
terus berkembang sesuai perputaran dunia, jaman pun berubah. Sangat diperlukan
kemampuan dan kemauan untuk mengikuti perubahan dan senantiasa menyesuaikan diri.
Perubahan kondisi dan situasi orang tua dalam menjalankan peran dan fungsinya selaku
pengasuh dan pendidik anak perlu diikuti dengan upaya menambah pengetahuan,
meluaskan wawasan, dan meningkatkan keterampilan.
Dengan sikap ini maka orang tua pun bisa diharapkan melaksanakan tugasnya
dalam mengarahkan, membimbing, mendorong, membantu anak serta mengusahakan
peluang/kesempatan untuk berprestasi optimal, sesuai dengan kemampuannya. Berpikir
positif dan bersikap adaptif adalah sikap yang diharapkan dari para orang tua yang kini
tengah mendidik dan mengasuh anak-anak yang akan memasuki era globalisasi. Tugas ini
tentunya tidak hanya menjadi tanggung jawab ibu. Bersama, ayah dan ibu menyikapi
perubahan jaman dalam kondisi yang lebih menguntungkan bagi anak, sehingga ia
mampu menyongsong era globalisasi dengan keyakinan diri yang kuat, berdasarkan bekal
yang diperolehnya dan kepercayaan akan rakhmat dan karunia-NYA.


BAB V
BEBERAPA PEMIKIRAN TENTANG KUALITAS
MANUSIA INDONESIA

Dari berbagai pembahasan mengenai kualitas manusia Indonesia dalam periode
Orde Baru yang memfokuskan pembangunan di bidang ekonomi, terlihat kecenderungan
untuk menyimpulkan beberapa insiden sebagai gambaran manusia Indonesia dewasa ini
yang lebih menandakan sikap instrumental, egosentris, kurang peka terhadap
lingkungannya, konsumtif, dan melakukan jalan pintas untuk mencapai kepuasan pribadi.
Bernadette N. Setiadi dan kawan-kawan dalam penelitiannya (1989) menemukan hal-hal
yang menguatkan pengamatan tersebut. Menurutnya, kualitas manusia Indonesia diwarnai
oleh kurangnya etos kerja dan sangat berorientasi pada hasil akhir tanpa atau kurang
memperhatikan proses pencapaian hasil akhir. Enoch Markum (1984) mengemukakan
bahwa untuk menyongsong pembangunan tahun 2000 mendatang secara mutlak
diperlukan manusia Indonesia dengan karakteristik tingkah laku seperti kemandirian,
kerja keras, gigih dan prestatif. Saparinah Sadli dan kawan-kawan (1985) dalam
penelitian tentang sistem nilai masyarakat kota besar yang dilakukan pada pertengahan
dekade delapanpuluhan menemukan bahwa masyarakat kota mempunyai besar nilai
terminal (preverensi tujuan hidup) yang diwarnai dengan hal-hal yang sifatnya materi.
Sedangkan nilai instrumental (preverensi cara-cara pencapaian tujuan hidup) lebih
ditandai oleh pengutamaan kompetensi pribadi.
Abad 21 yang memunculkan situasi makin terbukanya hubungan antar
bangsa/negara membuat batasan sebelumnya menjadi tipis, sehingga berlangsung
persentuhan aspek kehidupan mental psikologis, ekonomi, sosial, budaya. Bila dikaitkan
dengan proses pembentukan tingkah laku manusia, maka proses globalisasi membawa
kemungkinan sebagai berikut:
a. Terjadi peningkatan interaksi, interdependensi dan saling pengaruh
b. Terbuka pilihan pengembangan diri yang memerlukan penyesuaian prioritas tindakan
secara terus menerus sesuai dengan keinginan dan kebutuhannya. Secara psikologis
terjadi perubahan kognitif, perubahan kebutuhan, yang kemudian membawa
pembentukan nilai (pemberian skala prioritas) terhadap hal-hal yang dianggap
bermakna dalam hidupnya.
La Piere (1981) mengartikan pembangunan sebagai suatu usaha yang secara
sistematis direncanakan dan dilakukan untuk merubah kondisi masyarakat yang ada ke
arah kondisi dan taraf kehidupan yang lebih santun. Di sini terkandung arti bahwa
pembangunan sebenarnya merupakan suatu perubahan sosial, yang mau tidak mau
merujuk pada terjadinya perubahan tingkah laku individu warga masyarakat yang sedang
membangun. Fuad Hassan menyatakan bahwa hakiki manusia adalah kemampuan
manusia untuk menjadi dirinya sendiri dan kemudian mengembangkan kehidupannya
dalam suatu keadaan yang menjadi pilihannya. Manusia berpeluang untuk diarahkan agar
bisa menumbuhkan motivasi, sehingga di setiap saat dan situasi ia selalu berusaha
mencari peluang dan kesempatan yang menarik keinginan dan perhatiannya untuk
memenuhi kebutuhan aktualisasi diri. Di setiap saat dan situasi manusia dihadapkan pada
berbagai alternatif pilihan. Ia memerlukan kebebasan untuk dapat menentukan pilihan
yang baik, yaitu pilihan dengan kapasitas, bakat serta minat atau kebutuhannya secara
umum. Dengan kebebasan itu barulah ia leluasa melakukan aktuialisasi diri, menentukan
arah dan pengembangan hidupnya. Mempelajari hakiki manusia sebagai mahluk sosial, jelas bahwa ia membutuhkan
kehadiran manusia lainnya, kebutuhan untuk berkelompok dan menjadi bagian dari
kelompok. Membanjirnya peluang, kesempatan dan pilhan untuk aktualisasi diri sering
membuat manusia hanyut sehingga melupakan hakiki yang sangat mendasar. Terbawanya
manusia dalam banjir informasi menyebabkan kekaburan manusia untuk memahami
perbedaan antara kebutuhan dengan keserakahan (needs and greed), butuh dan ingin
(wish and need) yang kemudian mendorong manusia untuk secara terus menerus terlibat
dalam kegiatan pemuasan pribadi. Dia lalu berkembang menjadi mahluk yang egosentris
dan instrumental. Mereka yang tidak mampu sehingga tidak mungkin memenuhi
kebutuhan aktualisasi diri akan memunculkan pesimisme dan kekhawatiran, yang bisa
melahirkan ketidakpuasan dan protes terhadap kejadian di lingkungannya. Disonansi,
kesenjangan generasi, kesenjangan kelas sosial-ekonomi, adalah efek samping lainnya
karena usaha yang dilakukan tidak lagi sekadar ingin memiliki tetapi juga memuaskan,
sementara kepuasan sifatnya relatif dan cenderung tidak berujung. Keserakahan
menampilkan wajah egosentris yang kemudian melepaskan diri dari kasih sayang
(Gromm). Kemudahan komunikasi membuat individu melupakan peran-peran lain dalam
kehidupan, terutama yang menyangkut kehidupan interdependensi. AKU menjadi sangat
menonjol. Situasi ini bisa menjadi pemicu bagi pemunculan pribadi yang kehilangan
kontrol diri.
Psikologi sebagai ilmu yang kajian utamanya adalah perilaku manusia terkait erat
dengan telaah proses pembentukan perilaku, yang hasilnya bisa disumbangkan sebagai
intervensi dalam pembentukan perilaku Manusia Indonesia Abad 21 Yang Berkualitas
Tinggi. Keterlibatan dalam upaya rekayasa tingkah laku, baik dalam kapasitas sebagai
sarana belajar maupun bimbingan dan penyuluhan, perlu dilakukan untuk mendapatkan
wawasan tentang konteks dan lingkungan serta eksistensi manusia. Cara yang bisa
ditempuh dalam upaya rekayasa ini adalah melakukan usaha yang berkesinambungan
dengan memperhitungkan dukungan kelompok maupun dukungan masyarakat. Untuk itu
kerjasama dengan berbagai disiplin ilmu lainnya terasa sangat bermakna. Psikologi akan
memfokuskan pada upaya pembangkitan kebutuhan untuk berubah agar bisa menjadi
pendorong (motivasi) dalam proses perubahan tingkah laku yang diharapkan. Pembekalan
individu dengan pengetahuan dan keterampilan yang cukup harus dilakukan agar ia
mampu melaksanakan perubahan tingkah laku yang diharapkan, yang sudah beralih
menjadi kebutuhan pribadi dan bukan kebutuhan yang bersifat eksternal. Dalam upaya ini
harus diciptakan kesempatan bagi individu untuk memecahkan masalah berkaitan dengan
adopsi tingkah laku dalam kondisi nyata. Penelitian yang dilakukan oleh Bernadette N.
Setiadi (1987), Yaumil A. Achir (1990), Iman Santoso Sukardi (1991) dan Soesmaliyah
Soewondo (1991) membuktikan bahwa usaha merubah tingkah laku manusia dapat
dilakukan melalui intervensi terencana perubahan tingkah laku.
Dengan mengembangkan teori serta intervensi dalam pola asuh yang khas Indonesia,
pengalaman daur belajar Kolb dan intervensi perubahan tingkah laku Mc Clelland yang
diadaptasikan ke Indonesia serta pengembangan intervensi lain dalam keterampilan
hubungan antar manusia, membuktikan bahwa psikologi mampu berbuat sesuatu dalam
rangka menyongsong era globalisasi. Yang diperlukan adalah intervensi terencana yang
menekankan analisis kebutuhan individu dan masyarakat, pengembangan iklim belajar
partisipatif, penciptaan dukungan kelompok serta pemanfaatan seluruh sumber sebagai
sarana belajar. Dalam rekayasa terencana perlu dilihat, mana nilai-nilai tradisional yang masih bisa dipertahankan dan dikembangkan, mana pula yang harus ditinggalkan karena
sudah tidak sesuai, bahkan bisa menghambat.
Dalam rangka globalisasi ternyata manusia Indonesia mengalami perubahan peta
kognitif, pengembangan dan kemajemukan kebutuhan serta pergeseran prioritas dalam
tata nilainya. Kesemuanya tampil dalam perilakunya yang egosentris, instrumental, jalan
pintas, etos kerja yag lemah dan kurang peka terhadap masalah yang tidak menyangkut
kepentingannya. Padahal era abad 21 memerlukan manusia Indonesia yang tangguh, yang
harus menampilkan tingkah laku yang diwarnai dengan etos kerja, prestatif, religius, peka
terhadap lingkungan, inovatif dan mandiri. Pertanyaannya adalah, sejauh mana manusia
Indonesia bisa dibantu untuk menemukan jati dirinya dan mampu beradaptasi terhadap
tarikan dan pengaruh globalisasi masyarakat dunia. Selain itu perlu dicermati pula, berapa
banyak yang 'masih tersisa' saat ini untuk bisa diajak memasuki abad 21 secara produktif?
Berapa bagian dan seberapa luas kerusakan yang sudah terjadi? Di lapisan mana
kerusakan itu terjadi dan di tingkat mana yang masih menjanjikan harapan untuk
pembentukan perilaku yang adaptif dalam memasuki abad 21?



BAB VI
PENGEMBANGAN POLA PERILAKU MANUSIA INDONESIA YANG
BERKUALITAS TINGGI DALAM MASYARAKAT ABAD 21

Sebagaimana telah diuraikan di atas, ada dua kemungkinan pembentukan pola
perilaku manusia Indonesia dalam memasuki abad 21, yang diwarnai oleh latar belakang
sejarah bangsa dan negara selama ini, yaitu:
a. menjadi bangsa yang memiliki self efficacy
b. menjadi bangsa yang mengalami learned helplessness
Era Reformasi membukakan kenyataan, betapa banyak unsur penting lainnya
dalam upaya pengembangan Manusia Indonesia yang seolah terlupakan dalam
membangun bangsa dan negara dalam masa Orde Baru, yang antara lain menjadi
penyebab munculnya perilaku yang mengarah kepada perbuatan Korupsi, Kolusi,
Nepotisme (KKN). Kesadaran tersebut lalu mendorong keinginan untuk membenahi
perilaku Manusia Indonesia dari sikap yang cenderung KKKN menjadi perilaku yang
Bersih, Transparan, Profesional. Keinginan untuk memunculkan Manusia Indonesia yang
bersih, transparan, dan profesional dalam menjalani kehidupannya sangat diperlukan,
apapun yang dilakukannya, di manapun posisinya. Kehidupan Abad 21 menyiratkan
tantangan yang lebih luas dalam berkompetisi di era globalisasi. Pengembangan perilaku
bersih, transparan, dan profesional menjadi persyaratan bagi Manusia Indonesia agar bisa
berkualitas tinggi dan mampu mengambil posisi dalam persaingan di kancah dunia dan
memanfaatkannya dengan baik. Sebaliknya, perilaku yang mencerminkan KKKN harus
ditinggalkan.
Peristiwa di Bulan Mei 1998 dan hari-hari berikutnya telah menunjukkan betapa
kompleksnya permasalahan yang harus diperhatikan dalam upaya meningkatkan kualitas
Manusia Indonesia. Ada masalah budaya, ada masalah sosial, ada masalah agama yang
secara psikologis menjadi dasar pengembangan sikap dan perilaku, selain masalah
ekonomi dan harapan untuk bisa mengambil posisi dalam mengantisipasi globalisasi dan
perkembangan teknologi. Pemahaman diri sebagai Manusia Indonesia perlu dimiliki agar
dapat menempatkan diri dan mengembangkan hubungan dengan lingkungan, baik dalam
skala kecil maupun percaturan yang lebih luas. Negara dan bangsa memerlukan Manusia
Indonesia yang mencerminkan pandangan, sikap, dan perilaku warga Republik Indonesia
(siapapun dia, dari kelompok mana pun - etnik, kelas sosial, agama, pendidikan,
kemampuan ekonomi). Era globalisasi yang semakin terasa denyutnya memerlukan
penampilan Manusia Indonesia yang berkualitas tinggi, sehingga dapat mengikuti
perkembangan dunia, yang selanjutnya akan dapat menghasilkan peran serta aktif di
berbagai bidang (pertanian, perdagangan, perindustrian, teknologi, kesehatan, pendidikan,
dan sebagainya).
Manusia Indonesia yang berkualitas tinggi, dengan latar belakang berbagai
periode yang telah dijalaninya memerlukan kajian lintas disiplin ilmu agar bisa
dirumuskan secara jelas dan tegas. Dalam kaitan ini sangat disadari bahwa kompleksitas
permasalahan yang dihadapi dalam memunculkannya sekaligus mensyaratkan adanya
dialog/komunikasi yang bersifat saling isi dan melengkapi antar berbagai ilmu yang
terkait, sesuai dengan kondisi dan situasinya. Forum Organisasi Profesi Ilmiah Indonesia
(FOPI) yang beranggotakan berbagai Organisasi Profesi Ilmiah (OPI) diharapkan secara
ilmiah mampu merumuskan Manusia Indonesia Abad 21 Yang Berkualitas Tinggi
sehingga arah pembangunan bangsa dan negara pun bisa ditata lebih baik. Untuk itu perlu dicarikan upaya agar dapat memberdayakan Manusia Indonesia dengan meningkatkan
kualitas ketangguhan dan kemandirian dengan tetap peduli lingkungan (alam, sosial,
budaya) sehingga lebih mampu menyikapi berbagai perubahan kondisi dan situasi. Hasil
kajian tersebut diharapkan dapat memunculkan karakteristik Manusia Indonesia yang
berkualitas tinggi, yang menggambarkan manusia dan budayanya (akhlak, moral, budi
pekerti) serta kaitannya dengan kehidupan lingkungan (kependudukan, politik, ekonomi,
sosial, alam). Gambaran tersebut kemudian dikaitkan dengan kondisi dan situasi yang
harus dihadapi masyarakat Indonesia di masa depan, sehingga bisa dicarikan berbagai
alternatif upaya yang perlu dan harus dilakukan agar Manusia Indonesia bisa menerima
dan memahami dirinya serta mampu menyesuaikan diri dengan kondisi dan situasi
lingkungan pada jamannya.
John J. Macionis (1996) mengemukakan bahwa abad 21 menyiratkan
ketidakjelasan terhadap ukuran keberhasilan yang bisa dijadikan keteladanan. Sukar
sekali menutupi kejadian yang tak ingin disebarluaskan, baik untuk pertimbangan
menghormati hak asasi manusia maupun kecanggihan teknologi komunikasi. Banyak
masalah yang masih harus dijawab dalam memasuki abad 21, antara lain merumuskan
makna kehidupan, pemecahan sengketa/konflik antar bangsa/negara, pengentasan
kemiskinan yang tidak hanya terkait dengan masalah populasi (pertambahan penduduk)
dalam hubungannya dengan ketersediaan sumber daya alam yang makin terbatas. Abad
21 mengisaratkan perlunya wawasan pikir yang lebih luas, imajinasi, rasa kasihan atau
simpati, dan keteguhan hati. Pemahaman yang luas terhadap kehidupan bersama akan
menjadi dasar yang kuat bagi upaya membantu manusia memasuki abad 21 dengan sikap
optimis.
Ada lima cara yang dikemukakan Macionis dalam pembentukan perilaku yang
mencerminkan pemahaman sosialisasi, yaitu:
a. teori Id, Ego, Superego dari Sigmund Freud (1856-1939)
b. teori Perkembangan Kognitif dari Jean Piaget (1896-1980)
c. teori Perkembangan Moral dari Lawrence Kohlberg (1981)
d. teori Gender dari Carol Gilligan (1982)
e. teori "Social Self" dari George Herbert Mead (1863-1931)
Jalur yang bisa digunakan untuk membentuk perilaku yang mencerminkan
kemampuan sosialisasi adalah:
a. keluarga
b. sekolah
c. kelompok sebaya
d. media massa
e. opini publik
Sedangkan proses sosialisasi bisa berlangsung sepanjang kehidupan, yakni sejak
kanak-kanak, pra remaja, remaja, dewasa muda, dewasa, lanjut usia.
Harapan untuk dapat membantu masyarakat dalam mewujudkan perilaku Manusia
Indonesia Abad 21 Yang Berkualitas Tinggi bisa mengacu pada kerangka pikir tersebut
(untuk pemahaman, proses dan pembentukan perilaku dalam upaya sosialisasi), terutama
dalam upaya membentuk manusia yang cerdas, terampil, tangguh, mandiri, berdaya saing
tinggi tapi juga punya hati nurani, yang membuatnya peduli dan tidak individualis. Untuk
itu perlu dipahami dulu kondisi masyarakat Indonesia saat ini. Berdasarkan teori
perkembangan moral dari Kohlberg, masyarakat Indonesia terbagi dalam tiga kelompok
moralitas. Kelompok pertama menyandarkan perilakunya pada pengertian benar dan salah, baik dan buruk berdasarkan reaksi yang diterimanya dari lingkungan. Bagi
kelompok ini, keputusan benar salah, baik buruk harus bisa dipahami secara nyata, bukan
sesuatu yang bersifat abstrak. Bentuk hukuman dan pujian/penghargaan harus dipahami
sesuai dengan tingkat kemampuan mereka, antara lain taraf kecerdasannya. Penempatan
patung-patung polisi lalu lintas di berbagai kota (Bogor, pinggiran kota Bandung,
Surabaya, Padang) adalah contoh pemahaman "hitam putih" dalam usaha pengawasan
perilaku. Kehadiran polisi secara fisik (terlihat) menjadi penting daripada hanya sekadar
penempatan rambu-rambu lalu lintas. Kelompok ini lebih terfokus pada pikiran dan
pertimbangannya sendiri, menggunakan ukurannya sendiri dan tidak terlalu mampu
mempertimbangkannya dalam perspektif yang lebih luas. Kelompok kedua sudah lebih
luas pandangannya, sehingga pemahaman terhadap norma dalam kehidupan bersama,
yang mengacu pada kehidupan bersama, bisa diharapkan. Kepedulian dan kebutuhan
mendapatkan predikat sebagai warga masyarakat yang baik sudah dimiliki. Kelompok
ketiga memiliki tingkat pemahaman dan kesadaran yang lebih tinggi mengenai perlunya
norma dalam kehidupan bersama agar dapat mencapai rasa aman dan nyaman.
Pengelompokan tersebut seharusnya dijadikan patokan dalam mengembangkan aturan
berikut sanksinya. Meskipun secara umum tetap bersumber pada acuan hukum yang
sama, tetapi dalam penyampaian informasi dan terapannya sangat perlu memperhatikan
kondisi psikologis masing-masing kelompok, sehingga bisa diterima dan dilaksanakan
dengan baik.
Bagi masyarakat Indonesia yang secara mayoritas mencerminkan pola patrilineal,
adanya figur yang bisa dijadikan pegangan menjadi sangat penting. Figur tersebut harus
dapat mencerminkan tokoh yang dikagumi dan bisa dipercaya, yang antara lain bisa
dilihat dari sikap dan perilakunya dalam kehidupan keseharian sebagai pribadi maupun
dalam melaksanakan tugasnya. Perasaan diperlakukan secara adil, yang antara lain
merasa memiliki hak dan kewajiban yang sama di depan hukum, menjadi syarat utama
bagi tumbuhnya kepercayaan kepada pimpinan negara dan aparat penegak hukum. Segala
bentuk kekecualian akan mengurangi bobot aturan yang ditetapkan. Apalagi kalau figur
yang seharusnya menjadi panutan ternyata menampilkan perilaku yang tidak sesuai
dengan aturan yang telah disepakati bersama. Bentuk masyarakat Indonesia yang sangat
heterogen juga harus diperhatikan. Sejalan dengan hal tersebut maka penyusunan undang-
undang dan peraturan penjelasan serta kelengkapannya harus disampaikan dalam bentuk
komunikasi yang efektif, sesuai karakteristik masing-masing kelompok.
Untuk bisa menjaga agar perilaku masyarakat tetap produktif dalam upaya menegakkan
kewibawaan pemerintah, ketertiban dan ketenteraman bersama, masyarakat yang seolah
baru terbangun dan mulai sadar atas hak-haknya sebagai individu maupun sebagai warga
negara, yang kemudian memunculkan berbagai bentuk perilaku 'terkejut' harus segera
diarahkan dan dibimbing, sehingga reformasi bisa tetap sesuai dengan jiwanya ketika
diperjuangkan oleh mahasiswa. Perilaku beberapa pihak yang saling tunjuk, saling
menghujat, saling menghakimi tanpa mengindahkan prosedur hukum/aturan/tatanan yang
berlaku perlu segera diatasi, sebelum menyesatkan masyarakat dalam pengembangan pola
pikir dan tindakan yang jauh dari kehidupan sadar hukum.
Pemulihan kepercayaan masyarakat tidak hanya diperlukan untuk mengembalikan
kondisi dalam negeri, tetapi juga bagi dunia internasional dalam menentukan sikap dan
kebijaksanaan politik maupun ekonomi terhadap Indonesia. Beban psikologis ini amat
berat. Persoalannya adalah seberapa jauh pemerintah dan seluruh jajarannya menyadari
hal ini? Apakah masyarakat juga bisa melihat persoalan ini dalam skala pikir yang lebih luas dari hanya sekadar memikirkan kepentingannya sendiri? Dapatkah mereka melihat
dirinya sebagai bagian dari kepentingan bersama, selaku anggota masyarakat dan warga
negara? Pemerintah dan masyarakat harus bersama-sama menyelesaikan persoalan ini
sebagai kepentingan yang tak bisa ditawar untuk dapat mempertahankan keutuhan dan
kesatuan bangsa dan negara. Untuk itu sangat perlu dimasyarakatkan secara luas dan
terbuka mengenai kondisi dan situasi yang dihadapi bersama agar pemerintah dan
masyarakat bisa bahu membahu dalam upaya penyelesaiannya, yang tentunya harus
sangat memperhitungkan karakter masing-masing kelompok, sehingga bentuk dan jalur
penyampaiannya bisa disesuaikan dan kemudian bisa dipahami sebagaimana mestinya.
Hal lain yang memerlukan perhatian pemerintah untuk dapat memulihkan
kepercayaan masyarakat kepada pemerintah adalah koordinasi yang baik antara seluruh
aparat/jajaran pemerintah. Pernyataan dan tindakan yang terkesan kontradiktif antar
departemen harus dihindarkan. Sebelum memberikan pernyataan, baik sebagai tanggapan
maupun rumusan kebijaksanaan, seyogianya sudah ada pemahaman dan kesepakatan di
antara para anggota kabinet dan aparat/jajaran di bawahnya yang terkait. Dengan
demikian masyarakat tidak seperti penonton yang kebingungan, sebab tidak ada yang bisa
dijadikan pegangan secara jelas, yang akibatnya memunculkan perilaku yang
dikembangkan atas interpretasi sendiri. Kondisi ini dapat memunculkan situasi yang
rawan bagi kehidupan bersama, sebab tak ada acuan yang jelas dan tak ada kepastian
yang bisa dipercaya untuk dijadikan pedoman.
Transparansi atau keterbukaan dalam menjalankan pemerintahan masih perlu
dilakukan secara selektif, sesuai karakter masyarakat yang dihadapi supaya tidak berubah
menjadi bentuk perilaku yang seenaknya menuntut dan menghujat orang/pihak lain,
sedangkan di sisi lain menepuk dada atau menganggap diri paling benar dan bersih.
Kehidupan demokrasi yang sesungguhnya harus dijabarkan secara operasional di tiap
tingkatan kemampuan masyarakat dalam memahaminya, sesuai karakter kelompok-
kelompok yang ada. Pendekatan persuasif dan tidak sekadar responsif sangat diperlukan,
yang bisa dilakukan dalam bentuk pendidikan masyarakat dalam hal kesadaran hidup
berbangsa dan bernegara, yang menyiratkan rasa kebersamaan, bahu membahu, saling isi,
saling melengkapi. Tatanan kehidupan menurut adat dan agama harus jelas posisinya
dalam tatanan hukum negara, sehingga aspirasi dan kebutuhan masyarakat bisa
tertampung dengan baik dan tidak menimbulkan gejolak yang merugikan kehidupan
bersama. Aturan yang meliputi seluruh kehidupan, antara lain dalam ketentuan mengenai
tanah adat, kehidupan beragama, kehidupan masyarakat yang berlandaskan bhinneka
tunggal ika, kesempatan memperoleh pendidikan/pekerjaan, kenyamanan dan jaminan
keamanan dalam bekerja, corak kehidupan perkawinan/keluarga sesuai kondisi jaman
perlu ditelaah untuk bisa memenuhi aspirasi masyarakat.

BAB VII
PENUTUP

Manusia Indonesia Abad 21 Yang Berkualitas Tinggi ditandai oleh lima ciri
utama dari aspek-aspek perkembangan yang berlangsung secara seimbang dan selaras,
yaitu perkembangan tubuh (fisik), kecerdasan (inteligensi), emosional (afeksi),
sosialisasi, spiritual. Pola perawatan, asuhan, dan pendidikan anak hendaknya mengacu
pada upaya pengembangan kelima aspek tersebut secara harmonis dan seimbang agar
terbentuk pribadi yang sehat, cerdas, peka (sensitif), luwes beradaptasi dan bersandar
pada hati nurani dalam bersikap dan bertindak. Dengan demikian meskipun ia berhadapan
dengan gaya hidup global, pijakannya pada akar kehidupan tradisional yang menjadi cikal
bakal kehidupan bangsa dan negaranya tidak akan hanyut terbawa arus kehidupan global.
Justru ia akan dapat memilih dan memutuskan yang terbaik untuk diri, bangsa dan
negaranya, baik untuk keperluan jangka pendek maupun jangka panjang. Penegakan
hukum dan contoh yang diperlukan sebagai model pembentukan perilaku, baik yang
ditunjukkan orang tua maupun masyarakat, menjadi penting.
Kerjasama antar disiplin ilmu dalam memecahkan masalah yang dihadapi saat ini
sangat diperlukan. Pembangunan harus diarahkan pada cita-cita bangsa dan negara ketika
republik ini didirikan. Kebersamaan menjadi penting untuk dapat menjaga kesatuan dan
persatuan. Menyadari keterbatasan kemampuan diri sebagai individu dan kelebihan
bekerja sama akan dapat menghindarkan suasana yang saling tuding, saling hujat, saling
mencemooh, saling menepuk dada, saling melecehkan, adu kuasa dan adu kekuatan
seperti yang tampak sekarang ini. Selain merugikan kehidupan bangsa dan negara,
memunculkan ancaman perpecahan, perilaku tersebut tidak akan menempatkan individu
dalam proses belajar memahami dan mentaati hukum. Padahal, era globalisasi di abad 21
akan menghadapkan manusia Indonesia pada hukum dan tatanan kehidupan bersama
yang lebih luas, tidak hanya dalam batas wilayah Republik Indonesia. Perilaku sadar
hukum adalah sebagian dari persyaratan yang diajukan abad 21. Siapkah kita
membentuknya? Tahukah kita cara membentuknya? Jawaban pertanyaan ini akan
menentukan corak individu yang menandai masyarakat Indonesia abad 21, apakah kita
akan menjadi bangsa yang mengalami "learned helplessness", apatis, tidak percaya diri
dan tidak mampu bersaing di tatanan global atau menjadi bangsa yang memiliki self-
efficacy, percaya diri dan mampu bersaing di tatanan global.
Agar bangsa dan negara ini tidak semakin terpuruk karena terpaksa mengalami
"learned helplessness" seharusnya pemerintah dan masyarakat mampu menumbuhkan
motivasi berprestasi tinggi atau dikenal sebagai need for achievement (Mc Clelland).
Menurut teori Maslow, manusia Indonesia harus didorong sampai pengembangan
motivasi untuk mampu mengaktualisasi diri dan tidak terhenti pada motivasi pemenuhan
kebutuhan hidup yang mendasar saja.
Dalam kaitan dengan pembangunan selanjutnya, ada pertanyaan yang masih harus
dijawab, terutama mengacu pada pengalaman kita selama ini, akankah kita masih
terkotak-kotak dalam menyelenggarakan pembangunan? Dapatkah kita menempatkan
manusia sebagai individu dengan segala keunikannya sehingga tidak memperlakukannya
sebagai obyek semata? Atau kita masih tetap beranggapan bahwa masyarakat yang terdiri
dari kumpulan individu adalah sekadar obyek, yang bisa diatasi dengan "dua K" yaitu
kekuatan dan kekuasaan. Kalau jawabannya "Ya," maka cita-cita untuk mewujudkan Manusia Indonesia Abad 21 Yang Berkualitas Tinggi barangkali cuma angan-angan,
seperti membangun rumah di atas angin.

No comments:

Post a Comment